Sutrisno Pangaribuan. FOTO: dokumen pribadi |
Oleh: Sutrisno Pangaribuan *)
MESKI masa kepemimpinannya tinggal menghitung hari, Gubernur Sumatera Utara (Gubasu) Edy Rahmayadi masih terus menebar kontroversi "asbun". Terbaru saat Pemkab Labuhanbatu Selatan (Labusel) meraih opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), untuk kali kesepuluh.
Pemkab
Labusel meraih opini WTP dari BPK RI sepuluh tahun berturut. Semula, Edy
mengapresiasi capaian tersebut, yang disampaikan dalam sambutan di acara Kick
Off Opini Menuju 10 Tahun Berturut-turut WTP Pemprov Sumut.
Edy
menyinggung ada pemerintah daerah yang menerima 10 kali WTP secara
berturut-turut. "Ada WTP sudah sampai 9 kali, mau 10 kali dan ada sudah 10
kali. Pak siapa yang di ujung sana, Pak Edimin, kok bisa pula kau 10 kali?
Berapa kau sogok itu orang?" tanya Edy, Senin, 14 Agustus 2023.
Meski
demikian, Edy menyampaikan ucapan terima kasih atas usaha yang dilakukan Pemkab
Labusel. "Makasih, saya tahu usaha ini. Pendapatan dia berapa lah, tapi
dia bisa WTP. Mana yang keluar, mana yang masuk, sesuai hitungannya. Itu yang
menjadikan WTP, bukan besar dan kecilnya. Nah, besar dan kecilnya ini kan
maunya kita, kita yang akan membuatnya," tutup Edy.
Sementara
itu, Kadis Kominfo Pemprovsu Ilyas Sitorus buru- buru "pasang badan"
dengan menjelaskan bahwa Edy sedang bercanda. "Itu konteksnya bercanda,
wajah Gubernur juga tersenyum melontarkan itu, yang hadir juga tertawa termasuk
Pak Edimin, Bupati Labusel dan Ketua BPK Sumut Eydu Oktain Panjaitan. Candaan
ini terlontar karena kedekatan Pak Gubernur dengan Pak Edimin, tidak ada maksud
men-judge di situ karena Pak Edy Rahmayadi tahu sulit mendapatkan WTP,” kata
Ilyas S Sitorus di kantornya, Jalan HM Said, Medan, pada Selasa, 15 Agustus 2023.
Pernyataan Berkonsekuensi Hukum
Edy semakin
jumawa, karena lima tahun tidak memiliki lawan seimbang. Edy berhasil membuat
jinak para ketua di Sumut. Tidak ada kelompok masyarakat yang berani
"kritis", membuat Edy berbicara sesukanya.
Edy berhasil
membuat adem dinamika politik Sumut hanya dengan bercanda dan asbun. Bahkan
meski Edy sering menabrak sejumlah peraturan dalam berbagai kebijakan, semua
berjalan mulus karena tidak ada yang berani melawan Edy.
Edy juga
berhasil membuat jinak "para ketua" di DPRD Sumut. Anggota legislatif
yang sejatinya sebagai "watch dog" rakyat, termyata hanya sibuk
berebut remah-remah kekuasaan berupa penambahan jumlah anggaran reses, alokasi
dana hibah rumah ibadah, dan dana sosper.
Negosiasi
politik berjalan mulus, karena Edy memenuhi selera dan kepentingan jangka
pendek para legislator. Tidak satupun anggota legislatif yang memiliki nyali
menyampaikan kritik kepada Edy, baik terkait tata kelola pemerintahan, maupun
sikapnya yang selalu bercanda dan asbun.
BPK RI Perwakilan
Sumut merupakan satu-satunya lembaga yang diberi tugas oleh konstitusi untuk
memeriksa keuangan Pemda. Maka saat ada tuduhan sebagai "orang yang disogok",
seharusnya membuat marah pimpinan BPK RI Perwakilan Sumut, bukan ikut tertawa. Sekalipun
Ilyas mengklaim bahwa Edy sedang bercanda, namun itu keterlaluan dan melampaui
batas.
Tanpa ada
bantahan dari BPK RI Sumut, maka publik akan menilai bahwa status WTP dapat
diperoleh dengan "menyogok". Sehingga, predikat WTP tidak perlu
dikejar, karena bukan ukuran prestasi.
Tanpa
disadari, Edy sebenarnya sedang mengarahkan telunjuknya kepada diri sendiri,
bukan kepada yang lain. Predikat WTP yang diperoleh Pemprovsu selama dipimpin
Edy, berarti didapat dengan "menyogok itu orang".
Edy tidak
mungkin menyampaikan pernyataan berdasarkan pengalaman orang lain. Sebab Edy
sendiri pasti paham bahwa jika pernyataannya tidak benar, maka hal tersebut merupakan
fitnah yang dapat merendahkan harkat dan martabat orang lain.
Meski
diklaim Ilyas sebagai candaan, pernyataan Edy berkonsekuensi hukum. Gubsu tidak
dibenarkan bercanda atas alasan apapun, terutama menyangkut materi yang
sensitif.
Praktik
korupsi, termasuk suap atau sogok, hingga tindakan memperdagangkan pengaruh
sudah dijadikan sebagai "extraordinary crime". Bahkan, negara
membentuk KPK sebagai lembaga khusus memberantas korupsi. Maka pernyataan Edy
tersebut dapat dijadikan sebagai informasi awal untuk memulai proses hukum oleh
KPK.
Jika BPK RI
Perwakilan Sumut dan BPK RI tidak mempersoalkan pernyataan “asal bunyi" alias
“asbun” dari Edy, maka publik akan mempersoalkannya dengan meminta KPK RI
melakukan penyelidikan terhadap semua proses pemeriksaan keuangan pemerintah
daerah.
Jika
terdapat praktik sogok dalam upaya meraih predikat WTP, seperti tuduhan Edy,
maka oknum penyogok dan penerima sogok, termasuk perantara sogok (jika ada)
harus ditangkap oleh KPK.
KPK RI harus
segera memanggil Edy terkait pernyataan "sogok itu orang" dalam
memeroleh status WTP. Jika Edy tidak segera mengklarifikasi pernyataan
"sogok orang itu", maka pernyataan Edy sebagai pejabat publik, yang
disampaikan dalam acara resmi dapat dimaknai sebagai pernyataan resmi Gubernur
dan benar. Sebab jika tidak benar, maka pernyataan tersebut adalah hoax atau
fitnah. (*)
*) Penulis
adalah Politisi PDIP, Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara 2014-2019.
Editor:
Indra Gunawan
Email: indragunawanku@gmail.com