Sekretaris Pokja Humas Sumut, Mirza Syahputra, SE
AgioDeli.ID – Disharmoni Eramas (Edy Rahmayadi – Musa Rajekshah)
kembali diumbar ke publik. Kali ini dalam prosesi pelantikan 50 pejabat eselon
II dan III di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut).
“Berdasarkan kondisi faktual hari ini, tak sulit bagi
publik untuk menyimpulkan apa yang disampaikan Gubsu Edy Rahmayadi kepada para
pejabat yang dilantiknya Kamis (5/1/2023) itu sebagai disharmoni antara dirinya
dengan Wagubsu Ijeck,” ulas Sekretaris Kelompok Kerja Kehumasan (Pokja Humas) SumateraUtara, Mirza Syahputra, menanggapi wartawan di Medan, Jumat (6/1/2023).
Bagi Mirza, umbar disharmoni yang dipertontonkan Gubsu
Edy juga menunjukkan kalau mantan Panglima Kostrad itu tidak memiliki cukup
kepercayaan diri dalam memimpin Sumatera Utara. Seolah dia menyesalkan sikap
hormat aparatur sipil negara (ASN) Pemprov Sumut terhadap Wagubsu Musa
Rajekshah selama ini.
“Padahal jelas, undang-undang telah mengatur sistem
pemilihan dan kedudukan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Gubsu Edy pernah
bilang, dia dan Wagubsu itu ibarat suami istri dalam rumah tangga. Tapi apa
yang terus diumbarnya bertolak belakang,” tandas Mirza.
Diketahui, saat melantik 50 pejabat eselon II dan III di Aula
Tengku Rizal Nurdin, Gubsu mengungkap dirinya tak ingin diduakan. Sekaligus, menegaskan
dialah sang gubernur, pemimpin di Sumatera Utara.
“Sekali
lagi saya ingatkan, saya Gubernur Sumatera Utara, saya tidak mau diduakan.
Tuhan saja yang mahakuasa tidak mau diduakan, apalagi saya seorang gubernur
manusia biasa,” katanya dalam kesempatan berpidato di hadapan para
pejabat yang dilantik.
Semakin Ngawur
Telaah lain yang dilontarkan Mirza, isi pidato Gubsu Edy
kian hari kian ngawur. Juga sangat kentara kalau ucapan-ucapannya dilandasi
kondisi emosional yang tidak stabil.
“Coba simak baik-baik analogi yang digunakannya. Dia
membanding-bandingkan dirinya dengan Tuhan. Analoginya ngawur. Tuhan itu maha
kuasa, jelas tak bisa dan tak boleh diduakan. Kalau dia siapa? Dia makhluk. Wajar
jika dia tidak bisa menunjukkan kredibilitas mumpuni dalam memimpin, maka
makhluk lain akan membanding-bandingkan dia dengan pemimpin lain, diduakan,
bahkan bisa saja tak dianggap!” seru Mirza.
Sebagai profesional bidang pemasaran, Mirza mengulik
pengalaman dan pengetahuannya atas disharmoni yang dipertontonkan Gubsu Edy
Rahmayadi. Kemudian, menghubungkannya dengan Pilkada 2024 yang sudah semakin
dekat.
Menurutnya, pola komunikasi yang dipertontonkan Gubsu Edy
sangat buruk untuk elektabilitasnya bila kembali berkontestasi di 2024.
Kepercayaan publik akan tergerus.
Di sisi lain, sebagai masyarakat Sumatera Utara, Mirza
merasa tak lagi memiliki pengharahapan akan adanya perbaikan di sisa masa
jabatan Eramas yang berakhir September tahun ini. Sebab, sebagai leader, Gubsu
Edy sibuk mengumbar disharmoni dengan pasangannya dan bukannya fokus memotivasi
ASN untuk mewujudkan visi-misinya.
“Perombakan demi perombakan pejabat eselon itu juga kan
bagian dari tindakan emosional yang dipertontonkan Gubsu lantaran sudah tidak
harmonis lagi dengan wakilnya,” tambah Mirza.
Sebelum menutup analisisnya, Mirza mengutip ungkapan bijak
Max de Pree (28
Oktober 1924 – 8 Agustus 2017), seorang pengusaha dan penulis Amerika, “Tanggung jawab pertama seorang
pemimpin adalah mendefinisikan kenyataan. Tanggung jawab terakhir seorang
pemimpin adalah mengucapkan terima kasih. Di antara keduanya, pemimpin adalah budak.”
“Apa yang disampaikan Max de Pree juga sejalan dengan
amanat undang-undang. Jadi, Gubsu Edy itu jangan sok tak mau diduakan, seperti
Tuhan,” tandasnya. (indra)