Hang Tuah dan Ferdy Sambo. KOLASE: AgioDeli.ID/ratu fathia
Oleh: Affan
Bey Hutasuhut *)
SETIAP
jenderal pengecut dan siapa pun yang nekat mencabik-cabik hukum dan kebenaran hakiki
sama saja dengan melumuri wajahnya dengan aib dan kotoran iblis. Apalagi
biangnya adalah hamba hukum sekelas Irjen Ferdy Sambo yang dituduh membunuh
ajudannya Bripda Joshua Hutabarat.
Bagaikan
budak para setan, tragedi berdarah ini bahkan masih dibungkus oleh Ferdy secara
berjamaah bersama puluhan sejawatnya sesama polisi agar tabiat buruk ini tidak
merebak. Ada peran yang menghilangkan barang bukti CCTV, ada yang menyusun
skenario, dan lainnya.
Entah apa
rahasianya mengapa sampai tiga jenderal, puluhan perwira menengah bisa terjebak
dalam permainan kotor Ferdy Sambo. Apakah karena segepok duit, membela kawan
satu korps, atau jadi pelampung agar aib tidak diungkap oleh atasan.
Namun apapun
alasannya, rasanya kita perlu bercermin dengan sikap kesatria Hang Tuah. Bagi Laksamana
atau Panglima Angkatan Laut Kemaharajaan Melayu Melaka ini kesetiaan negara
mutlak harga mati. Tak ada tawar menawar, sekalipun berhadapan dengan empat
sahabat sejatinya, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu.
Padahal,
lima pendekar ini tersohor ketangguhannya di Semenanjung Melayu karena kekukuhan persahabatan sejati.
Lima Wira Melayu ini selalu tampil gagah menghadapi lawan yang coba mengusik
keamanan di Kerajaan Melayu Melaka. Namun demi kesetiaan kepada negara, Hang Tuah rela menikam
Hang Jebat dengan keris dalam duel maut yang tak bisa dihindari.
Difitnah
Berzina dengan
Isteri Sultan
Menurut
catatan sejarah, tragedi berdarah ini bermula dari murkanya Sultan Mansyur Syah, yang mendengar salah satu isterinya
telah berzina dengan Hang Tuah. Sultan lalu menghukum mati Hang Tuah dan
memerintahkan Penghulu
Bendahari bergelar Seri
Nara Diraja sebagai eksekutor.
Perintah
ternyata tidak
dilakukan oleh Seri Nara Diraja, menimbang jasa Hang Tuah yang begitu besar terhadap negara.
Sebagai gantinya, diam-diam Hang Tuah dipenjara di tepi hutan dalam keadaan
penderitaan lahir batin yang perih.
Musibah Hang
Tuah sampai ke telinga Hang Jebat. Sebagai sahabat, ia tak tega melihat
kezaliman yang diperlakukan kepada Hang Tuah. Ia marah dan menuntut balas.
Hang Jebat mengamuk, menyerang Istana Sultan Mansyur Syah. Isteri sultan penyebab fitnah
dibunuhnya. Karena amarah menjadi-jadi, istana porak-poranda. Sultan kabur dari istana.
Dalam
pelariannya,
Sultan menyesal telah memvonis mati Hang Tuah. Dia menyadari kalau saja
pendekar itu masih hidup, tak akan ada yang berani membunuh keluarganya. Keluh
kesahnya ini disampaian kepada Seri Nara Diraja.
Melihat
kesedihan Sultan, maka Seri Nara Diraja membuka rahasia bahwa ia urung membunuh
Hang Tuah. Mendengar ini Sultan senang dan segera memerintahkan agar Hang Tuah
dijemput untuk mengatasi kemarahan Hang Jebat.
Tragedi berdarah
pun tak terhindarkan. Meski Hang Jebat mengatakan melakukan itu untuk membela
Hang Tuah, tetap tak dianggap. Atas nama setia negara, Hang Tuah menentang sikap
kesetiakawanan Hang Jebat. Perkelahian antara kedua pendekar ini pun tak
terelakkan hingga Hang Jebat terbunuh ditikam keris.
Hang Tuah
tidak serta merta dinilai sebagai pahlawan atas sikap patriotisnya. Pendapat khalayak di Semenanjung
Malayu terbelah dua hingga kini. Hang Jebat justru dinilai berhati mulia karena
ingin menuntut balas kezaliman Sultan terhadap Hang Tuah. Sementara Hang Tuah
bertindak atas titah sultan untuk keselamatan kerajaan.
Terlepas
dari perbedaan tersebut, tetap saja spirit setia negara tak boleh padam. Jika tidak, maka secara perlahan sikap nasionalisme
akan terus memudar hingga dengan mudahnya memicu perpecahan sesama anak bangsa,
mafia bin mafia tumbuh subur, generasi muda jadi apatis.
Sekali
Merdeka tetap Merdeka! Dirgahayu ke-77 Republik Indonesia. (*)
*) Penulis adalah Wartawan Majalah TEMPO (1987-1994)